TikTok Terancam Diblokir di Amerika Serikat: Persimpangan Antara Teknologi dan Politik Global
April 2025 menjadi bulan penuh ketegangan bagi TikTok, salah satu aplikasi media sosial paling populer di dunia. Amerika Serikat, yang telah lama mencurigai keterkaitan antara TikTok dan pemerintah Tiongkok melalui induk perusahaannya, ByteDance, akhirnya mengeluarkan ultimatum keras: TikTok harus dijual ke perusahaan Amerika atau akan dilarang di seluruh wilayah AS. Ini bukan hanya sekadar perseteruan bisnis, tetapi juga menjadi cerminan kompleksitas geopolitik, privasi data, dan kekuatan teknologi.
Akar Permasalahan: Ancaman Keamanan Data
Kekhawatiran Amerika Serikat terhadap TikTok bukanlah hal yang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun terakhir, para legislator dan pejabat intelijen AS kerap menyuarakan potensi risiko yang ditimbulkan oleh kepemilikan TikTok oleh ByteDance, perusahaan asal Beijing. Mereka menduga bahwa aplikasi ini bisa digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk mengakses data pribadi warga AS, khususnya generasi muda yang mendominasi pengguna TikTok.
Meskipun ByteDance dan TikTok berulang kali menyangkal tudingan tersebut, dengan menyatakan bahwa data pengguna disimpan di luar Tiongkok dan tidak ada intervensi pemerintah, rasa curiga pemerintah AS tetap tinggi. Di tengah tensi geopolitik antara Washington dan Beijing, isu ini menjadi semakin panas.
Batas Waktu Penjualan
Pada tahun 2024, Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang yang mewajibkan ByteDance untuk melepas kepemilikannya atas TikTok. Tenggat waktu awal yang diberikan adalah Januari 2025. Namun, setelah terjadinya pergantian pemerintahan dan Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden, kebijakan ini diperkuat dengan keputusan eksekutif. Trump mempercepat batas waktu hingga 5 April 2025, menjadikan tanggal tersebut sebagai momen krusial bagi masa depan TikTok di Amerika Serikat.
Dalam keputusan terbarunya, pemerintah AS dengan tegas menyatakan bahwa jika ByteDance tidak menjual TikTok kepada pihak yang disetujui sebelum batas waktu, aplikasi tersebut akan diblokir sepenuhnya di wilayah AS. Ini akan menjadi langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengingat TikTok adalah salah satu aplikasi yang paling banyak digunakan di negara tersebut, dengan ratusan juta pengguna aktif.
Upaya Akuisisi dan Reaksi Pasar
Ancaman pemblokiran ini memicu berbagai reaksi dari dunia bisnis dan keuangan. Beberapa perusahaan Amerika mulai menunjukkan ketertarikan untuk mengambil alih TikTok. Salah satu tokoh yang mencuat adalah Reid Rasner, CEO dari Omnivest Financial, yang mengaku telah mengajukan tawaran senilai lebih dari 47 miliar dolar AS untuk membeli TikTok dari ByteDance.
Selain itu, nama-nama besar seperti Oracle dan Microsoft, yang sebelumnya pernah dikaitkan dengan rencana akuisisi TikTok pada 2020, kembali diperbincangkan. Namun, hingga kini belum ada kepastian apakah ByteDance benar-benar bersedia melepas kepemilikannya. Perusahaan tersebut dilaporkan sedang mengkaji berbagai opsi dan belum mengambil keputusan final.
Di sisi lain, para investor dan pengguna mulai khawatir dengan nasib TikTok di pasar AS. Beberapa influencer yang bergantung pada TikTok sebagai sumber penghasilan mulai mencari alternatif lain seperti Instagram Reels, YouTube Shorts, dan platform lokal seperti Clapper atau Triller.
Perspektif ByteDance dan Tiongkok
ByteDance menilai tekanan dari pemerintah AS sebagai bentuk pemaksaan yang tidak adil. Dalam beberapa pernyataan publik, pihak perusahaan menekankan bahwa mereka telah mengambil berbagai langkah untuk memastikan data pengguna tetap aman dan tidak diakses oleh pihak luar, termasuk pemerintah Tiongkok.
Pemerintah Tiongkok pun ikut angkat bicara. Dalam pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok, mereka menyebut langkah AS sebagai “perundungan ekonomi” dan tindakan yang melanggar prinsip perdagangan bebas. Mereka menyatakan tidak akan tinggal diam jika perusahaan Tiongkok dipaksa menjual asetnya di bawah tekanan politik.
TikTok dalam Politik Dalam Negeri AS
Menariknya, isu TikTok ini juga digunakan sebagai alat dalam politik domestik AS. Presiden Donald Trump menjadikan tekanan terhadap TikTok sebagai bagian dari agenda nasionalismenya di bidang teknologi, sementara oposisi menilai pendekatan ini bisa merusak citra AS sebagai negara yang menjunjung kebebasan internet.
Sebagian kalangan menganggap bahwa larangan terhadap TikTok justru berpotensi melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS yang menjamin kebebasan berekspresi. Kelompok advokasi digital seperti Electronic Frontier Foundation (EFF) dan ACLU menyuarakan kekhawatiran mereka bahwa pemblokiran TikTok akan menjadi preseden berbahaya dalam regulasi internet di masa depan.
Dampak Global dan Masa Depan TikTok
Ketidakpastian di AS memberikan dampak global yang signifikan. Negara-negara lain mulai memperhatikan langkah Washington, dan beberapa di antaranya mempertimbangkan tindakan serupa. India telah lebih dulu melarang TikTok sejak 2020, dan beberapa negara Eropa kini sedang mengkaji ulang kebijakan privasi dan data TikTok.
Namun, TikTok sendiri tetap bertumbuh di luar Amerika. Di Asia, Eropa Timur, dan Amerika Selatan, pengguna aktif TikTok terus meningkat. Kreativitas pengguna dan inovasi dalam fitur seperti live commerce dan konten edukatif membuat aplikasi ini tetap relevan.
Jika pemblokiran benar-benar terjadi, TikTok kemungkinan akan kehilangan salah satu pasar terbesarnya. Namun, ByteDance bisa saja memperkuat pasar lain dan bahkan membuat versi khusus untuk AS melalui perusahaan terpisah, jika kesepakatan dengan pembeli lokal berhasil tercapai.
Penutup: Titik Balik Dunia Teknologi?
Ancaman larangan TikTok di Amerika Serikat bukan sekadar tentang satu aplikasi saja. Ini adalah cerminan dari konflik yang lebih besar antara kedaulatan digital, privasi data, dan dominasi teknologi global. Dunia tengah menyaksikan bagaimana kekuatan politik bisa membentuk arah masa depan dunia maya.
Apakah TikTok akan tetap bertahan di AS? Apakah ByteDance akan menjual platform yang telah menjadi ikon global? Atau justru dunia akan menyaksikan lahirnya bentuk baru dari pengawasan teknologi antarnegara?
Apa pun hasilnya, satu hal yang pasti: keputusan dalam beberapa minggu ke depan akan menciptakan dampak jangka panjang yang tidak hanya memengaruhi TikTok, tapi juga seluruh industri media sosial global.